Koalisi Buruh Sawit (KBS), berbasis di Indonesia, merupakan salah satu suara utama dalam mendorong kesetaraan dan martabat yang lebih besar bagi pekerja di industri kelapa sawit. DIWA berbincang dengan Ismet Inoni, Koordinator KBS dan Kepala Departemen Hukum, Advokasi dan Kampanye Massa DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) pada April 2025 untuk membahas pandangannya terkait permasalahan di sektor ini dan peran kelompok buruh.
English version here

DIWA: Selamat pagi Pak Ismet, saya akan mulai dengan pertanyaan pribadi pertama dan peran Anda di KBS. Bisakah Anda ceritakan tentang organisasi KBS, seperti berapa anggota di KBS dan peran Anda di organisasi tersebut dan sudah berapa lama Anda bekerja di sana?
Ismet Inoni: Terima kasih, saya Ismet Inoni. Saya koordinator serikat pekerja kelapa sawit KBS. KBS sendiri merupakan salah satu aliansi serikat pekerja di sektor kelapa sawit yang mana KBS terdiri dari sejumlah serikat pekerja dan juga LSM, ada sekitar 12 serikat pekerja yang mewakili pekerja di daerah pemilihannya kemudian ada 8 LSM yang menjadi mitra kami yang difokuskan untuk menangani isu perkebunan kelapa sawit secara spesifik. 2 daerah terbesar yang menjadi basis anggota kami adalah di Kalimantan dan Sumatera yaitu Aceh kemudian Sumatera Utara kemudian Riau Sumatera Barat Sumatera Selatan sedangkan di Kalimantan ada di seluruh provinsi di Kalimantan baik di Kalimantan Utara kemudian di Kalimantan Selatan di Kalimantan Barat dan sekitar 40,000, terhitung belum begitu besar. Saya sendiri sebagai coodinator, bagian dari serikat nasional KBS yang kordinasikan pekerja dan kerjaan sebagai Koalisi Serikat Buruh Sawit, KBS. Sementara itu terkait dengan saya dan pekerjaan KBS.
DIWA: Saya lanjut dengan pertanyaan terkait 8 LSM yang kerja bersama KBS dan bapak, apakah mereka kerja sebagai mitra KBS atau hanya mendukung KBS di masing-masing kegiatan?
Ismet Inoni: Iya, ada sekitar 8 LSM yang kerja sama sebagai mitra KBS, di Aceh ada TUCC (Trade Union Care Centre), Sumatera Utara ada OPPUK, di Jakarta ada TURC (Trade Union Rights Centre) – ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) ada satu lembaga yang punya concern terhadap HAM, kemudian ada Sawit Watch merupakan salah satu mitra LSM kita, juga di Kalimantan Barat, ada Borneo Circle, ada Teraju Foundation, mereka merupakan bagian dari keanggotaan KBS yang menjadi mitra kita dalam penyampaian program dan bidang-bidang kegiatan kita yang lain juga.
DIWA: Selama 5 tahun terakhir setelah memulai tahun 2020, pencapaian apa yang paling diperjuangkan KBS, terutama dalam 5 tahun terakhir?
Ismet Inoni: Saya rasa secara internal kami menjadi semakin solid, kami menemukan apa yang disebut fokus kami, melihat kekuatan dan kelemahan KBS. Kami berpartisipasi dalam upaya pencarian fakta yang menghasilkan penelitian akademis yang berharga dan berkontribusi pada ‘rancangan’ atau masukan (multipihak) khususnya untuk undang-undang/RUU khusus untuk industri kelapa sawit (RUU PBS – undang-undang yang melindungi pekerja kelapa sawit) dengan perwakilan pemerintahan sebelumnya. Secara khusus penelitian kami yang meneliti dampak buruk pupuk terhadap kesehatan pekerja penting bagi KBS sebagai sebuah organisasi dan untuk perlindungan pekerja.
Kalau kita lihat UU Ketenagakerjaan di Indonesia orientasinya sangat manufacturing, sangat industrial, sedangkan di perkebunan kelapa sawit situasinya tentu sangat berbeda dengan industri manufacturing industrial lainnya karena memang situasinya, beda coraknya, jadi UU Ketenagakerjaan banyak yang tidak meng-cover apa yang seharusnya ada di dalam UU di industri perkebunan kelapa sawit. Makanya menurut saya yang paling besar adalah kita di tahun 2022 dan sampai dengan tahun 2023 ini kita sudah menghasilkan sebuah penelitian akademis dan juga sudah kita dengar RUU tentang perlindungan kelapa sawit ini, kita juga sounding kepada kemenakar 2023 kemudian berbagai macam pihak sempat di DPR, tapi secara khusus ke DPR belum ada hearing, tetapi dengan Wakil Menteri dari admistrasi yang sebelumnya. Itu yang menurut saya merupakan salah satu hal besar yang kami buat.
Yang kedua, tahun lalu 2024, kami melakukan penelitian tentang bahan kimia atau racun dalam industri. Saya pikir itu juga cukup besar. Untuk KBS, itu karena ini dapat berdampak besar pada pekerja dan mungkin memberi manfaat positif bagi mereka di tingkat perkebunan. Saya pikir ini adalah 2 pencapaian terbesar organisasi selama sekitar 5 tahun terakhir atau lebih.
DIWA: Apakah ada pihak lain yang ingin bekerja sama dengan KBS untuk menerapkan kebijakan/solusi yang dapat melindungi pekerja berdasarkan penelitian yang Anda sampaikan?
Ismet Inoni: Cakupan penelitian ini tidak hanya terbatas di Indonesia tetapi juga mencakup pemangku kepentingan di tiga negara di Kolombia dan kemudian di Afrika (Ghana). Secara internasional kita sudah sempat komunikasi atau diskusi dengan RSPO. Tapi tahun lalu sudah ada komunikasi dengan RSPO dan ya memang RSPO juga menawarkan kepada kita baik KBS di Indonesia maupun koordinator di Kolombia dan Ghana. Apakah kita mau bertemu dengan badan internasional RSPO (Kantor pusat) untuk komunikasi lebih lanjut? KBS sudah melakukan dialog multipihak terkait ini pada tanggal 19 Februari, undang Kementerian Ketenagakerjaan. Mengundang Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas HAM. Juga dengan GAPKI sebagai penangap atas research juga.
DIWA: Dalam beberapa tahun terakhir, mengapa KBS memperluas kegiatannya di luar advokasi, misalnya dalam pelatihan, dukungan sertifikasi, atau inisiatif pemberdayaan pekerja langsung?
Ismet Inoni: Saya tidak berpikir ini adalah perubahan pendekatan, tetapi berhubungan dengan fungsi dan keberadaan KBS secara keseluruhan, benar? Bagaimana kita dapat memperkuat dan meningkatkan situasi kondisi kerja pada pekerja kelapa sawit? Saya pikir salah satu hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas serikat pekerja, pemimpin serikat pekerja, termasuk anggota serikat pekerja sebelumnya. Jadi, salah satu program kami adalah bagaimana meningkatkan kapasitas secara internal, karena itulah yang mendukung kemampuan organisasi untuk melakukan hal-hal seperti pengumpulan informasi dan data. Jadi jika pengetahuan dan kapasitas mereka untuk bertindak meningkat serta kesadaran mereka, saya pikir KBS sebagai sebuah organisasi akan menjadi lebih kuat.
Hal berikutnya adalah, ketika kita berbicara tentang minyak kelapa sawit, itu bukan hanya produk Indonesia tetapi produk global, jadi kami merasa perlu untuk dapat berbicara di tingkat yang lebih tinggi, itulah contoh kami, bagaimana membangun solidaritas dengan teman-teman di Kolombia, kami tahu bahwa Kolombia adalah salah satu negara di Amerika Latin yang memiliki banyak perkebunan kelapa sawit. Jadi salah satu hal yang kami bangun adalah bagaimana kami dapat memiliki kekuatan untuk berbicara secara internasional, tetapi tidak hanya dengan organisasi serupa lainnya (serikat pekerja) tetapi juga pembeli.
Kami (KSB) juga bagian dari membangun jaringan internasional yang disebut IPOWU International Palm Oil Workers United. Pertemuan pertama diadakan pada tahun 2023 di Utreh di Belanda, tahun lalu di 2024 kita juga ada pertemuan yang membangun momentum yang kita miliki untuk mengajukan pertanyaan – Bagaimana kita bisa terus memperbaiki situasi pekerja kelapa sawit dan pertumbuhan di Indonesia.
DIWA: Ya, ini adalah saluran (pendekatan) yang lebih baik untuk berdialog dengan pemerintah atau banyak pihak lain atau khususnya secara internasional karena perubahan seperti apa yang telah terjadi dalam peraturan internasional seperti EUDR dan sebelumnya, seperti NDPE – apakah perubahan pada peraturan internasional merupakan sesuatu yang menjadi taktik untuk mulai dialog (dengan mitra pembelian) dan apa saja isu utama yang akan menjadi fokus Anda (KBS) sekarang? Apa isu-isu yang paling mendesak bagi KBS dalam konteks Indonesia tetapi juga dalam pasar/konteks global, apa saja persilangan yang Anda lihat?
Ismet Inoni: Kalau di tingkat nasional saya kira, tapi tidak hanya di tingkat nasional saja, salah satu isu yang masih terbuka, mau diselesaikan atau dikembangkan, adalah isu agrokimia, kita lanjutkan saja, kita umumkan saja, kemarin hasil penelitiannya akan menggali lebih dalam penyakit apa saja yang muncul akibat penggunaan bahan kimia tertentu. Berapa banyak orang yang terkena dampak buruk kesehatan, baik yang ringan maupun yang berat, penyelidikan ini bahkan bisa mengarah ke pemulihan atau solusi kalau kita menemukan fakta bahwa ada satu penyakit yang menyebabkannya (akar permasalahan), jadi bahaya agrokimia masih menjadi fokus kita tahun ini 2025. Peluncuran riset ini dilakukan pada 11 November 2024, bertepatan dengan waktu berlangsungnya acara RSPO di Bangkok.
Yang kedua, kalau kita bicara perkebunan kelapa sawit, Indonesia adalah leading country (negara terkemuka), dan dari pemerintahan sebelumnya sampai pemerintahan ini, kontribusinya ke pendapatan negara cukup besar, tapi kalau kita bicara kedalam, upah buruh terkait ini, kita bicara hanya upah minimum, bahkan ada di berbagai macam tempat yang upahnya masih di bawah 2 juta, seperti Kalimantan Barat misalnya, daerah atau provinsi bagian barat juga termasuk daerah yang konsesinya cukup luas, tetapi upahnya hanya sekitar 2,7 juta. Di bawah rata-rata UMP nasional. Itu salah satu yang menjadi concern KBS ke depannya di tahun ini, kita akan melakukan riset tentang upah; ini namanya atau bisa dikatakan kita anggap kalian ini pencurian upah – wage theft (pencurian upah).
Secara internasional saya kira kita juga punya concern tentang beberapa kebijakan baru di Eropa, misalnya di Eropa kita sudah membuat beberapa kebijakan yang berpengaruh juga terhadap situasi perkebunan kelapa sawit, kita juga mengikuti isu itu dan juga mendiskusikan isu itu; bagaiaman kebijakan-kebijakan Europa bisa memperbaiki perkebunan kelapa sawit, EUDR terkait dengan deforestasi tapi dampak dari kebijakan itu, misalkan hari ini Kita tahu pemerintah mengakui ada 3,3 juta hektare lahan yang dianggap sebagai kawasan hutan lindung, dan saya kira pemerintah juga sudah membuat kebijakan tentang itu. Misalnya, mereka sudah membentuk Satgas untuk penertiban kawasan hutan. Meskipun kita tahu penerapan kebijakan akan memakan waktu lebih lama dari 1 tahun. Sementara kebijakan terkait hak asasi manusia yang terkait dengan perubahan/dampak HRDD (Uji tuntas HAM) tampaknya masih dalam pembahasan (di tingkat internasional), tetapi kami juga ingin mengetahui apa saja dampak positif perubahan ini terhadap pekerja, ini adalah salah satu perhatian kami sebagai sebuah organisasi buruh.
DIWA: Saya punya beberapa pertanyaan lanjutan, Pak. Yang pertama khususnya tentang upah di Kalimantan setelah perubahan yang disebabkan oleh UU Ketenagakerjaan – penghapusan upah minimum sektoral – apakah Anda melihat adanya perubahan signifikan dalam upah pekerja sebagai akibat dari hal ini, baik kenaikan maupun penurunan. Juga apa dasar penelitian upah yang ingin KBS lakukan di Kalimantan; terkait UU, upah layak, menganalisis upah minimum?
Ismet Inoni: Saya rasa ini bisa jadi diskusi yang cukup panjang ya? Khususnya tentang penghapusan upah sektoral dampak UU Omnibus Law. Ya itu memang masalah, tapi bukan hanya di industri kita. Saya rasa ini masalah di semua industri. Sejak 2023 Pemerintah, sebetulnya tidak, Mahkamah Konstitusi, yang sudah mengabulkan peninjauan kembali beberapa gugatan dari beberapa serikat buruh, terutama yang terkait dengan penerapan kembali upah minimum sektoral, sebenarnya secara konseptual, kalau saya lihat seperti itu, sistem pengupahan sekarang ini masuk di sektor kelapa sawit, upahnya masih murah, jadi masih skema politik upah rendah, walaupun ada sistem sektoral, di beberapa tempat diberlakukan dan di tempat lain tidak – tapi tindakan-tindakan ini tidak mengakibatkan perubahan kecil atau besar terkait upah. Tetapi dengan industri kelapa sawit yang besar, dasar upah pekerja mungkin harus memiliki dasar yang lebih tepat daripada yang ada saat ini, tetapi melihat penghapusan upah minimum sektoral tentu ada dampaknya. Kedua, beberapa anggota yang berbasis di Kalimantan Selatan, KBS membantu mendukung mereka dalam perjuangan untuk memastikan mereka dibayar upah minimum sektoral, meskipun semua perubahan dalam undang-undang. Ya, tentu saja ada perubahan kecil, tetapi ya, perlu ada perubahan yang lebih besar yang akan datang.
DIWA: Saya akan melanjutkan dengan pertanyaan yang tidak terlalu berat, bagaimana Hari Buruh biasanya dirayakan di Indonesia, khususnya di organisasi KBS.
Ismet Inoni: May Day (Hari Buruh) itu banyak sekali orang yang merayakan, tidak terkecuali di Indonesia. Saya sendiri, selain di KBS, saya di GSBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia), di Ikatan Serikat Pekerja Indonesia, kita sendiri sudah nyatakan sejak tanggal 21 Maret kita sudah susun serangkaian kegiatan untuk memperingati May Day dengan GSBI yang beraktivitas di 14 provinsi, di 20 kabupaten dan kota, kita sudah instruksikan kepada anggota untuk melaksanakan kegiatan menjelang May Day di daerah seperti Karawang Sukabumi, tapi tentu juga di Jakarta yang menjadi kantor pusat KBS dan GSBI.
KBS juga meminta kepada seluruh anggota KBS baik di Sumatera maupun di Kalimantan untuk memastikan bahwa mereka merayakan May Day, mengajak mereka untuk memikirkan bagaimana mereka akan menghormati dan merayakan hari tersebut; apa yang akan mereka lakukan? Apa yang akan kalian kampanyekan? Saya kira beberapa dari mereka sudah ada di tengah-tengah melakukan ini tentu saja, ada beberapa tempat yang menyatakan bahwa di Kalimantan Barat banyak sekali kegiatan, termasuk semacam dialog multipihak, jadi para pemangku kepentingan di sana, kemudian di Kalimantan Selatan juga, ada dialog dan ada seminar, kemudian akhirnya mereka juga akan melakukan aksi di distrik Kota Baru, jadi mengenai ini tentu semua orang harus waspada terhadap kegiatan mereka, khususnya teman-teman kita di Sumatera Selatan. Ada juga yang sudah membuat kesepakatan dengan pemerintah, meminta agar Sumatera Selatan berada di Kabupaten Lahat. Kalau tidak salah satu permintaan dari teman-teman kita adalah agar semua daerah di daerah itu memiliki dewan pengupahan yang berfungsi karena sejauh ini belum ada. Ini merupakan salah satu masalah yang ingin ditekankan oleh teman-teman kami untuk diselesaikan. Teman-teman di Sumatera Selatan misalnya, ada beberapa tempat seperti itu. Secara umum kalau kita lihat, ini juga yang disampaikan pemerintah sebelumnya, menanggapi putusan MK (Mahkamah Konstitus) 168 terkait omnibus law UU Cipta Kerja, ada rekomendasi dari MK untuk mencabut regulasi terkait UU Ketenagakerjaan dari omnibus law dan membuat UU baru tersendiri. Menteri Ketenagakerjaan, menyatakan akan menindaklanjuti anjuran itu dan mengundang semua serikat pekerja untuk memberikan masukan dan kami juga ada pertanyaan apakah akan membuat UU baru dan dalam konteks ini melibatkan semua pihak, jadi salah satu tuntutan kami di May Day ini di proses pembuatan UU ketenagakerjaan yang baru, pastikan pemerintah melibatkan semua pemangku kepentingan yang tepat untuk melindungi negara dan juga hubungan kerja. Pemerintah tidak bisa lepas tangan dalam menangani masalah-masalah yang mendesak ini. Pemerintah punya peran penting dalam mengatur pekerja dan bisnis, melindungi (pekerja) dari eksploitasi, ini adalah peran signifikan yang dimainkan pemerintah.
DIWA: Pada tahun 2022 pemerintah mengambil tindakan — pemerintah Indonesia dilaporkan meningkatkan anggaran pengawasan ketenagakerjaan dari sekitar USD 15,1 juta pada tahun 2022 menjadi USD 22,7 juta pada tahun 2023, dan juga mengalokasikan sekitar USD 150.000 untuk program rehabilitasi sosial; guna mengatasi pekerja anak di sektor minyak sawit.
Dari sudut pandang KBS, apakah peningkatan pendanaan ini membawa perbaikan nyata bagi pekerja dan keluarga mereka di tingkat perkebunan? Dan juga menurut Anda, di mana pemerintah harus berinvestasi untuk memastikan bahwa industri kelapa sawit dan para pekerjanya benar-benar terlindungi?
Ismet Inoni: Ya benar bahwa di tahun 2022 ada penambahan anggaran pemerintah untuk pengawasan regulasi ketenagakerjaan, khususnya supervisi, tetapi meskipun ada perubahan tersebut, output/tindakan pemerintah sama di semua sektor tidak peduli perubahan/investasi tersebut. Keluhan yang disampaikan biasanya sama terkait hal ini; Kalau kita bicara pengawasan, yang kesatu bicara soal keterbatasan anggaran, yang kedua bicara soal keterbatasan orang. Padahal ketika saya beberapa kali ketemu dengan Kementerian Ketenagakerjaan di Jakarta, Sebenarnya bukan hanya masalah anggaran, bukan hanya masalah orang, karena saya tanya lagi, misalnya di negara mana anggarannya surplus, maka di negara mana orang atau aparatnya yang surplus, pasti akan terbatas – di kebanyakan negara menghadapi isu yang sama ketika menyangkut penegakan/pengawasan hukum ketenagakerjaan. Di negara yang semakin maju itu akan semakin kecil, berapa jumlah orang seperti itu, saya kira bukan itu masalahnya, masalahnya adalah cara berpikir kita, tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, ini contoh saya, kalau kita mau lihat contoh di Kabupaten Bekasi, di Kabupaten Bekasi ada (sekitar) 5.000 perusahaan. Dengan jumlah mungkin sekitar 5 atau berapa pengawas ketenagakerjaan, kalau kita cek semua kotak dari semua perusahaan nomor 1 sampai nomor 5.000 hanya di daerah itu saja bisa memakan waktu 15 tahun baru selesai.
Pertanyaan saya, apakah kita tidak belajar atau tidak bisa beradaptasi? Pengusaha bisnis itu cerdas, mereka tahu pemerintah tidak bisa memeriksa setiap kotak dari 100.000 kotak yang dikirim setiap hari dari tempat-tempat seperti Tanjung Priok hanya ke Rotterdam atau AS. Dengan sumber daya yang mereka miliki, mengapa mereka tidak memeriksa 6 kotak acak yang menurut perusahaan adalah kualitas terbaik? Jika ada masalah, kembalikan seluruh kiriman ke pabrik! Mengapa kita tidak bisa melakukan itu? Jika kiriman dengan kualitas terbaik/tertinggi menjadi masalah, bagaimana dengan kiriman dengan kualitas lebih rendah? Jadi saya tegaskan lagi ini bukan hanya tentang anggaran atau sumber daya manusia, tetapi tentang pola pikir dan bagaimana pemerintah menyikapinya.
Semua orang masih punya keluhan yang sama 10 tahun yang lalu. Bahkan kemarin saya ketemu perwakilan yang mengulang-ulang ini. Ya, berarti ini masalah mindset, negara ini tidak mau melakukan itu, jadi kemarin penambahan di 2022 itu terkait dengan pengawasan, jadi pada akhirnya ini juga akan berpengaruh, apalagi terakhir kita dialog dengan Kementerian HAM juga terkait dengan industri kelapa sawit, kita sudah buat semacam diskusi publik, kita ulangi, bahwa dalam konteks pengawasan industri, mereka sudah buat semacam laporan, yang bisa dilaporkan secara online, tapi sekali lagi saya ulangi kita masih banyak menemukan masalah yang sama yang berulang, termasuk pengawasan terhadap aturan dan regulasi di industri kelapa sawit saat ini belum berjalan dengan baik.
DIWA: Pertanyaan lanjut terkait revisi standar RSPO tahun 2024 dan peningkatan fokus global pada Uji tuntas hak asasi manusia. Bagaimana KBS melibatkan atau bermitra dengan bisnis atau badan sertifikasi untuk mendorong praktik ketenagakerjaan yang lebih baik. Menurut Bapak, apakah perubahan atau pendekatan seperti ini berdampak atau tidak? Berdasarkan pengalaman saya sebagai trainer saat audit di lapangan, menurut saya kesadarannya sudah agak tinggi (terkait HRDD/Uji tuntas HAM). Namun, keterbatasan bagi perusahaan dan karyawan HR (departemen sumber daya manusia) adalah mereka belum tahu bagaimana menerapkan kebijakan yang terkait dengan HRDD/Uji tuntas HAM. Apakah KBS sudah melaksanakan pelatihan atau kegiatan lain untuk mengkampanyekan atau melatih anggotanya terkait isu-isu yang terkait dengan melaksaankan HRDD/Uji tunas HAM.
Ismet Inoni: Pada tahun 2024 dengan adanya perubahan pada P&C (Prinsip dan Kriteria) RSPO, KBS sebagai serikat pekerja yang bermitra dengan LSM dan pemangku kepentingan lainnya telah memberikan masukan untuk standar baru ini – masukan terpenting dari pihak kami (KBS) adalah masukan yang kami berikan mengenai bahaya yang berkaitan dengan beberapa bahan kimia pertanian dan masalah upah dan pembayaran pekerja. Sebelumnya, P&C hanya merujuk pada upah minimum yang sah padahal seharusnya didasarkan pada batas atas bukan batas bawah dan didasarkan pada standar ‘upah layak’ dan bukan hanya upah minimum yang sah seperti yang saya bahas sebelumnya. Namun hingga saat ini, kami belum melihat adanya perubahan yang mencerminkan masukan/masukan kami dalam standar itu sendiri.
Kedua, saya kembali ke penelitian kita. Sebenarnya, penelitian ini menargetkan apa yang kita pikir pada saat itu akan menjadi sampel acak, tetapi kami terkejut mengetahui dari 13 perkebunan yang kami periksa, ternyata ada dua, ya satu atau dua, yang bukan anggota RSPO dan sisanya adalah anggota RSPO. Namun, penelitian menunjukkan bahwa fakta di lapangan bahwa tata kelola dalam hal (melindungi pekerja dari bahan kimia pertanian) lebih baik di 2 perkebunan yang bukan anggota RSPO, dibandingkan dengan perkebunan yang menjadi anggota, meskipun RSPO melakukan audit tahunan rutin. Baiklah, tetapi kami menemukan benang merahnya. Tampaknya selama audit RSPO, auditornya sendiri terbatas dalam ruang lingkupnya atau mungkin ada hal lain? Mereka mungkin tidak bebas menganalisis situasi secara menyeluruh? Sedangkan untuk penelitian kami lebih luas, mewawancarai pekerja di lapangan, dengan persetujuan tegas mereka, di antara kegiatan pengumpulan data lapangan lainnya.
Pada akhirnya, ya ini bisa dianggap sebagai kritik, khususnya terkait metodologi audit RSPO. Namun ini bukan kritik tanpa dasar atau alasan. Ini adalah kritik untuk memberi tahu RSPO di masa mendatang bahwa proses/metodologi audit mereka harus memberikan lebih banyak ‘kebebasan’ kepada auditor mereka untuk menganalisis situasi di lapangan – mewawancarai orang-orang di lapangan, di rumah mereka, di pabrik misalnya.
Saya juga berpikir P&C RSPO harus mempertimbangkan perkembangan lebih lanjut dalam peraturan Eropa, khususnya yang terkait dengan HRDD, dalam draf akhir P&C yang didistribusikan.
DIWA: Sebagai tindak lanjut dari itu saya punya pertanyaan berikut Pak, apakah kolaborasi dengan CB (badan certifikasi) seperti RSPO justru memperkuat posisi KBS untuk melindungi dan mengadvokasi hak-hak pekerja atau justru menghadirkan lebih banyak tantangan atau hambatan dalam kenyataan ketika berupaya menyelesaikan masalah yang terkait dengan hak-hak buruh? Karena terkadang menurut pengalaman kita, perkebunan bersertifikat akan berpuas diri ketika menangani masalah karena mereka telah mendapatkan sertifikasi. Apa pendapat Bapak tentang hal ini?
Ismet Inoni: Ya, seperti yang saya nyatakan sebelumnya, kami mengadakan pertemuan dengan RSPO di kantor pusat mereka, tetapi mereka tampak agak terkejut dengan hasil penelitian kami (terkait agrokimia), dan pada kenyataannya kami melihat bahwa pertemuan itu kurang produktif, jadi kami menyatakan kekecewaan kami, kami seharusnya menemukan solusi tetapi apa yang bisa kami lakukan? Ada diskusi lanjutan dengan rekan-rekan di jaringan internasional kami yang difasilitasi oleh RSPO dan mereka juga menawarkan kami untuk bertemu dengan perwakilan senior RSPO di Indonesia yang kami sambut dengan baik. Karena tentu saja dengan fakta-fakta ini (dari penelitian kami) kami harus melakukan sesuatu, dari mana kami harus mulai?
Kami juga bermitra dan mendapat masukan dari GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) karena mereka juga merupakan mitra dan sumber informasi yang berharga. Sejauh ini diskusi kami dengan mereka tentang langkah selanjutnya yang diperlukan telah produktif, mereka terbuka dengan kami dalam berbagi pengalaman mereka, khususnya karena mereka telah melakukan inisiatif multi-stakeholder untuk membuat pedoman yang memerangi praktik kerja paksa dan pekerja anak – karena tentu saja harus ada toleransi nol terhadap praktik ini di industri ini. Tetapi tentu saja upaya ini membutuhkan tindakan kooperatif tetapi tidak hanya diskusi tetapi pada tingkat prosedural untuk mengatasi kesenjangan untuk isu-isu seperti memastikan hak-hak pekerja perempuan dan pekerja harian.
Saya sadar bahwa implementasi misalnya untuk semua 3000 perusahaan minyak sawit bukanlah tindakan yang layak dengan cepat, kita tidak harus terlalu ambisius. Tetapi langkah pertama untuk sekitar 700 anggota GAPKI masih diperlukan, mereka dapat menjadi contoh dari mana pengembangan lebih lanjut berasal. Namun secara umum tampaknya Bapak Sumarjono (Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI) terbuka bersama GAPKI sebagai organisasi secara keseluruhan untuk berdiskusi tentang langkah-langkah yang dapat kita ambil untuk mengatasi masalah dalam industri ini.
DIWA: Terima kasih banyak untuk waktunya Pak, ini pertanyaan terakhir, jika melihat kembali pelajaran penting yang telah dipelajari KBS dalam 5 tahun terakhir, apa yang akan memandu pekerjaan advokasi bapak dan KBS ke depannya?
Ismet Inoni: KBS pada awalnya memang berbeda dengan sekarang, terutama karena sebagai sebuah industri situasinya tidak begitu bagus saat ini, kita sudah ‘tertinggal’ terutama jika dibandingkan dengan industri manufaktur di Indonesia. Namun kami percaya bahwa KBS, sebagai sebuah organisasi, akan semakin baik, dan jika kami dapat terus konsisten dan terus berkembang, kami akan terus memberikan dampak positif. Sementara secara nasional, suara kami sudah mulai didengar. Diskusi yang telah kami lakukan dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi pelajaran penting dalam menganalisis kekuatan dan tekad kami dalam mendukung anggota kami. Jaringan kami secara umum memiliki potensi untuk memberikan dukungan penting bagi anggota kami juga, itu adalah beberapa pelajaran penting. Bagi teman-teman dan kolega kami juga di industri minyak sawit, tidak banyak pilihan, jika mereka ingin mengubah situasi mereka, mereka harus mengorganisasi dan berserikat serta membangun jaringan mereka karena perubahan tidak mungkin dilakukan sendirian.
DIWA: Oke, terima kasih banyak Pak, apakah ada hal lain yang Bapak ingin sampaikan kepada kami, apakah ada saran atau nasihat?
Ismett Inoni: Terima kasih kepada Aaron dan Melissa, saya harap wawancara ini dapat memperjelas situasi di industri minyak kelapa sawit Indonesia karena di Indonesia terdapat sejumlah asosiasi pekerja, bukan hanya KBS – KBS sendiri merupakan anggota jaringan yang lebih luas, JAPBUSI (Jaringan Serikat Buruh Sawit Indonesia). Kami telah mengadakan beberapa pertemuan dengan mereka, tetapi ini baru langkah awal untuk menjajaki cara mengomunikasikan masalah yang kami hadapi bersama.
Dengan kontribusi dari Aaron Thirkell, Melissa Villanueva, dan Renata Sandhi dari DIWA.
Pandangan dan opini yang disampaikan dalam wawancara ini merupakan milik narasumber dan tidak selalu mencerminkan pandangan serta opini DIWA.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai KBS, silakan kunjungi situs web mereka di: https://turc.or.id/koalisi-buruh-sawit/
Read next: Building worker voice: Spotlight on Indonesia (Part 1 of 2)