IPOWU Meeting: Decent Work in Palm Oil Plantations

Day 1 of The 3rd IPOWU International Meeting in Jakarta & Pontianak.

Versi Bahasa Indonesia di bawah ini

DIWA attended the first day of the 3rd International Palm Oil Workers United (IPOWU) meeting where discussions focused on “Supply Chain Policies, Gender Equality, and the Impacts of Agrochemicals”.

Koalisi Buruh Sawit (KBS) and allied unions called on oil palm companies to fulfill the sustainability criteria in the OECD Guidelines for Multinational Enterprises, and ensure their business practices align with internationally recognized human rights due diligence requirements. Additionally, KBS reiterated their call for a dedicated Bill on the Protection of Palm Oil Workers (RUPBS) in Indonesia, alongside the need for continued international cooperation and solidarity to tackle systemic issues facing palm oil workers worldwide.

The meeting brought together over 50 local stakeholders, including numerous national and international NGOs, alongside participating unions from Colombia and Ghana. Discussions highlighted similarities and complex challenges across the palm oil industry globally—particularly regarding fair pay and the treatment of women workers, whose contributions too often go unrecognized or inadequately compensated.

The Ministry of Manpower (Kemenaker) opened the Talkshow. In his speech, he confirmed the government will seriously consider the RUPBS proposed by KBS. Chief Minister Dr. Yassierli (Ministry of Manpower) announced that the draft will be reviewed and advanced through Indonesia’s legislative process. This news follows conversations from earlier this year that DIWA held with KBS coordinator Ismett Inoni, who stressed the bill as a key step to safeguard workers by keeping companies accountable and raising clear standards for worker protection. The urgency is clear: in 2024 alone, Indonesia recorded over 9,300 labor violations and 462,000 workplace accidents across all sectors. At the same time, the Ministry of Manpower (Kemenaker) acknowledged ongoing challenges, especially the limited number of labor inspectors, as well as limited concrete details regarding oversight and implementation. During the proceedings, KBS also launched their website which aims to provide real-time reporting and updates from workers in the field in an accessible way. 

Discussions on the event’s central theme of decent work focused on strengthening minimum legal protections and standards—especially as guarantees for sectoral minimum wages and other legal protections were diminished in the 2020 and 2023 iterations and revisions of the Omnibus Law (UU Cipta Kerja No.11 – 2020 & UU No.6 – 2023).  Clearer, sector-specific guidance remains a pressing demand, reflecting the reality faced by worker unions and their members in the palm oil sector, where advocacy and labor organizing efforts may face barriers.

The industry continues to rely on precarious labor conditions, weak enforcement of existing laws, and structural barriers that limit workers’ ability to organize and negotiate collectively. Ensuring meaningful input from KBS and other relevant stakeholders in the RUPBS consultation process would be an important step toward guaranteeing that a revised RUPBS provides adequate protection to workers in the industry.

Why the RUPBS Matters

The draft Bill represents a major opportunity to restore protections rolled back under the Omnibus Law, while also advancing solutions to some of the most pressing issues including:

  • Embedding decent work as the foundation of a sustainable palm oil sector
  • Driving tripartite collaboration between government, business, and workers
  • Securing fair wages including reinstating sectoral minimum wages (UMSK), which in many regions were higher than provincial minimum wages (UMP) and district minimum wage (UMK) that became the legal minimum standard
  • Providing a framework that strengthens collective bargaining and ensures workers’ right to job security are upheld
  • Establishing sector-specific protections for occupational safety & health in harvesting, processing, and chemical handling 
  • Ensuring protections for working hours and rest days in mills and estates
  • Expanding social protection (BPJS) coverage and ensuring universal access to benefits for palm oil workers

DIWA Looking Ahead

DIWA will continue working with KBS, and other stakeholders, to ensure this momentum translates into concrete protections and better working conditions for the millions of workers driving Indonesia’s palm oil industry.

In palm oil and across the region, DIWA continues to engage stakeholders throughout the supply chain to advocate for the fulfilment and protection of workers’ rights. Our programs and activities can be viewed on our website here:

  • HRDD Training: Building supplier and stakeholder capacity to identify and address human rights risks.
  • Stakeholder Engagement: Facilitating dialogue between unions, companies, associations, and government to strengthen advocacy and compliance.
  • Palm Oil ToolkitThis toolkit was developed by DIWA (formally Verite SEA) and available in multiple languages to help equip palm oil producers who are looking to build a social compliance program with basic knowledge and tools. 

DIWA’s Melizel Asuncion will also moderate an upcoming panel at the RSPO in Kuala Lumpur, Malaysia that will explore how recent global regulations and shifting stakeholder expectations are driving businesses to adopt more transparent, inclusive, and data-driven approaches. Please join us for this timely and relevant discussion on November 4, 2025.

Bahasa Indonesia:

Talkshow Internasional: Pekerjaan yang Layak di Perkebunan Kelapa Sawit: Perspektif Global.

Hari Pertama Pertemuan Internasional IPOWU ke-3 di Jakarta dan Pontianak.

DIWA menghadiri hari pertama dari tiga hari seri pertemuan International Palm Oil Workers United Meeting (IPOWU) yang berfokus pada isu pekerjaan layak di perkebunan sawit. 

Dalam forum ini, Koalisi Buruh Sawit (KBS) dengan organisasi jaringan pendukungnya menyerukan Perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk memenuhi kriteria kebelanjutan seperti yang tertuang dalam Panduan OECD bagi Perusahaan Multinasional dan memastikan bahwa praktik-praktik bisnis mereka sesuai dengan persyaratan uji tuntas HAM. Selain itu juga, KBS kembali menegaskan seruan mereka akan pentingnya pembuatan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Sawit (RUPBS) di Indonesia, serta memperkuat kerja sama dan solidaritas internasional untuk mengatasi persoalan sistemik yang terjadi dialami oleh   buruh sawit di seluruh dunia.

Pertemuan ini melibatkan lebih dari 50 pemangku kepentingan lokal, termasuk berbagai LSM nasional maupun internasional, serta serikat pekerja dari Kolombia dan Ghana. Diskusi menyoroti tantangan kompleks yang serupa yang dihadapi di sektor sawit global—khususnya terkait upah yang adil dan perlakuan terhadap pekerja perempuan, yang kontribusinya sering kali diabaikan atau tidak menerima kompensasi secara layak.

TalkShow dibuka oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang menyatakan mereka akan mempertimbangkan RUPBS yang diusulkan oleh KBS. Menteri Ketenagakerjaan, Prof. Yassierli, S.T., M.T., PH.D, menyampaikan bahwa draf tersebut akan ditinjau dan dibawa ke proses legislasi di Indonesia. Hal ini sejalan dengan percakapan DIWA awal tahun ini bersama Koordinator KBS, Ismett Inoni, yang menekankan bahwa RUPBS merupakan langkah penting untuk memastikan akuntabilitas perusahaan sekaligus memberikan standar perlindungan bagi pekerja. Kebutuhan akan hadirnya perlindungan hukum bagi pekerja kelapa sawit sangat nyata: pada tahun 2024 saja, Indonesia mencatat lebih dari 9.300 pelanggaran ketenagakerjaan dan 462.000 kecelakaan kerja.

Dalam kesempatan yang sama, Kemenaker juga mengakui tantangan yang masih ada, terutama terbatasnya jumlah pengawas ketenagakerjaan, sementara jawaban konkret terkait pengawasan dan implementasi masih minim. Dalam kegiatan Talkshow ini, KBS juga meluncurkan situs web resmi yang diharapkan dapat digunakan sebagai media pelaporan dan pembaruan langsung dari pekerja di lapangan dengan cara yang lebih mudah diakses.

Tema utama diskusi terkait dengan pekerjaan yang layak berfokus pada penguatan perlindungan dan standar hukum minimum—terutama setelah jaminan terkait upah minimum sektoral (UMSK) dan perlindungan hukum lainnya berkurang melalui Omnibus Law (UU Cipta Kerja No. 11/2020 & UU No. 6/2023). Sedangkan tuntutan adanya panduan sektoral yang lebih spesificmencerminkan kenyataan yang dihadapi oleh serikat buruh, anggota serikat, dan buruh, tentang masih adanya tantangan dalam melakukan kerja-kerja advokasi dan pengorganisasian pekerja  di sektor sawit.

Pada saat ini, industri kelapa sawit terus bergantung pada kondisi kerja yang tidak aman, lemahnya penegakan hukum yang ada, dan hambatan struktural yang membatasi kemampuan pekerja untuk berorganisasi dan bernegosiasi secara kolektif. Agar RUPBS yang direvisi mampu memberikan perlindungan yang memadai, partisipasi bermakna dari KBS dan pemangku kepentingan lainnya dalam proses konsultasi menjadi langkah krusial.

Mengapa RUPBS Penting

Rancangan Undang-Undang ini merupakan kesempatan untuk memulihkan kembali perlindungan pekerja yang dilemahkan akhibat hadirnya Omnibus Law, dan dalam waktu yang bersamaan untuk menjadi solusi bagi masalah-masalah yang menjadi focus.

  • Menjadikan Kerja Layak sebagai fondasi keberlanjutan sektor sawit.
  • Mendorong kolaborasi tripartite antara pemerintah, bisnis actor, dan pekerja
  • Memberlakukan kembali upah minimum sektoral (UMSK), yang sebelumnya lebih tinggi dari UMP maupun UMK.
  • Menyediakan kerangka hukum untuk memperkuat perundingan bersama dan memastikan jaminan kelangsungan kerja.
  • Menetapkan perlindungan khusus dalam sektor sawit terkait dengan proses panen pengolahan, dan panduan yang jelas terkait dengan hari dan jam kerja, maupun jam kerja lembur baik di kebun maupun pabrik pengolahan kelapa sawit.
  • Memperluas cakupan jaminan BPJS dan memastikan akses perlindungan yang lebih luas bagi pekerja sawit.

Komitmen DIWA ke Depan

DIWA akan terus bekerja sama dengan KBS, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan momentum ini terwujud menjadi perlindungan nyata dan perbaikan kondisi kerja bagi jutaan buruh yang menopang industri sawit Indonesia.

Baik di sektor sawit maupun sektor lain di kawasan regional, DIWA berkomitmen untuk terus berkolaborasi diseluruh rantai pasok guna mendorong pemenuhan dan perlindungan hak-hak pekerja. Program dan inisiatif kami dapat dilihat di situs resmi DIWA, antara lain:

  • Pelatihan HRDD: Membangun kapasitas pemasok dan pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi serta mengatasi risiko HAM.
  • Keterlibatan Pemangku Kepentingan: Memfasilitasi dialog antara serikat, perusahaan, asosiasi, dan pemerintah guna memperkuat advokasi dan kepatuhan.
  • Palm Oil toolkit: Dikembangkan DIWA (sebelumnya Verité SEA) dalam berberapabeberapa bahasa untuk membantu produsen sawit membangun program kepatuhan sosial dengan pengetahuan dan alat dasar yang dibutuhkan.

Melizel Asuncion dari DIWA juga akan memoderatori sesi panel RSPO di Kuala Lumpur yang akan mengulas bagaimana regulasi global terkini dan perubahan ekspektasi para pemangku kepentingan mendorong pelaku usaha mengadopsi pendekatan yang lebih transparan, inklusif, dan berbasis data. Kami mengundang Anda untuk bergabung dalam diskusi yang sangat relevan ini pada 4 November 2025.